Sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah Saw.)
bertaya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra: "Apakah engkau mencintai
Allah?" Ali ra menjawab, "Ya". Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau
mencintai kakek dari Ibu?" Ali ra kembali menjawab, "Ya". Husain
bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?" Lagi-lagi Ali
menjawab,"Ya". Husain kecil kembali bertanya: "Apakah engkau
mencintaiku?" Ali menjawab, "Ya". Terakhir Si Husain yang masih polos
itu bertanya, "Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta
di hatimu?" Kemudian Sayidina Ali menjelaskan: "Anakku, pertanyaanmu
hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan
kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah". Karena
sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah
Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum
mengerti.
Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi'ah
Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah
mengatakan: "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi
hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku
pada Allah Swt". Tentang cinta itu sendiri Rabiah mengajarkan bahwa
cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan
berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna
simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk
integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi
mencintai Rasulullah Saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah Swt.
Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai apa apa yang di
cintai-Nya pula. Rasulullah pernah berdoa: "Ya Allah karuniakan
kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu
dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu.
Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin."
Selanjutnya Rabiah -yang sangat terpandang
sebagai wali Allah karena kesalehannya- mengembangkan konsep cinta yang
menurut hematnya harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns).
Selain itu ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus
mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari
kepentingan pribadi (dis-interested). Cinta kepada Allah tidak
boleh mengharapkan pahala atau untuk menghindarkan siksa, tetapi
semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan apa yang
bisa menyenangkan-Nya, sehingga Ia kita agungkan. Hanya kepada hamba
yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan
diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna. Rumusan cinta Rabiah
dapat di simak dalam doa mistiknya: "Oh Tuhan, jika aku menyembahmu
karena takut akan api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika
aku menyembahmu karena berharap surga, maka campakanlah aku dari sana;
Tapi jika aku menyembahmu karena Engkau semata, maka janganlah engkau
sembunyikan keindahan-Mu yang abadi."
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali
mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh
maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah
awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang
kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran.
Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan
yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.
Bayazid Bustami sering mengatakan: "Cinta adalah
melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun
ia besar; dan menganggap besar apa yang di peroleh kekasih, meskipun itu
sedikit." Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana' ini dapat
kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah
rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan
pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal
ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan
mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran
cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan
kepada pamannya: "Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari
mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya
aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin
meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa". Ciri
kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa-
apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah
walaupun cobaan berat menimpanya.
Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung.. "Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka "'(QS. 2: 46). Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari "alastu"
sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang
merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan
yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya
seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang
merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan
untuk melihat Allah Swt. dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut
Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling
kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru'yah (melihat
Allah).merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan
surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan
Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan
tindakan "bodoh" dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.
"Shalat adalah mi'rajnya orang beriman"
begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas shalat bagi
para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para
pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang Aqwiya (orang-orang
yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai
media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka
senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu
berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa.
Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: "Ada hamba yang beribadah
kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum
pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya
budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah
Swt, itulah ibadahnya orang mukmin". Seorang pecinta akan berhias
wangi dan rapi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang
yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam
shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan
kerinduan dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam sholatnya.
Mencintai Allah Swt. bisa di pelajari lewat
tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat
yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan
ke bentuk yang lebih nyata dengan amal saleh dan akhlakul karimah yang
berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.
Ada sebuah cerita, seorang sufi besar bernama Abu
Bein Azim terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di
tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat
yang sedang memegang sebuah buku. Abu Bein bertanya: "Apa yang sedang
anda kerjakan?" Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan. Abu Bein ingin
sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi
kemudian ia gigit jari, namanya tidak tercantum di situ. Ia pun
bergumam: "Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi
sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia". Esok harinya ia
terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang benderang, malaikat yang
bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum
pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun protes: "Aku bukan pecinta
Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia". Malaikat itu berkata: "Baru saja
Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai
Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia".
Mencintai Allah bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannas ini pernah di tekankan oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadits qudsi: "Aku
tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia
memberi makan fakir miskin dan shalat ketika orang-orang terlelap
tidur". Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam
cinta kemanusiaan yang lebih konkrit, misalnya bersikap dermawan dan
memberi makan fakir miskin. Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah
telah di contohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya.
Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan
sebagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya.
Mencintai Allah berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara
saudara kita yang di timpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum
dhuafa dan orang lemah yang lain. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah
bersabda ketika ditanya sahabatnya tentang kekasih Allah (waliyullah). Jawab beliau: "Mereka
adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan ruh Allah, bukan
atas dasar pertalian kerluarga antara sesama mereka dan tidak pula
karena harta yang mereka saling beri." Menurut Nurcholish Madjid,
yang di tekankan dalam sabda Nabi tersebut adalah perasaan cinta kasih
antar sesama atas dasar ketulusan, semata-mata untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
PUJI WANTO
Mahasiswa TMI Angkatan 1997
Universitas Islam Indonesia